Sepasang Sepatu
Chitra Sari Nilalohita, lahir pada 28 Desember 1994. Penyuka hujan dan sendirian. Saat ini tengah menempuh semester akhir di jurusan Pendidikan Guru MI UIN Jakarta. Suka membaca dan menulis untuk menyampaikan keresahan. Beberapa cerpen dan artikelnya telah tersebar di media online.
Aku tahu, tak boleh ada kesombongan sekalipun aku mau, sekalipun kamu, pemilikku, menyayangiku melebihi yang lainnya, sekalipun aku yang paling sering menghabiskan waktu bersamamu, yang paling tahu tentang seluk-beluk aktivitasmu saban waktu.
Bagiku, seindah dan semahal apapun, tempatku tak pernah berubah, tetap di bawah, di antara jemari kakimu, membungkus tumitmu, bergesekan dengan aspal dan tanah berbatu.
Ya. Aku adalah sepasang sepatu kebangganmu, yang kau beli dengan hasil jerih payah menabung, menyisihkan pundi-pundi rupiah ongkos kuliahmu, menghemat pengeluaran uang makan, bertahan untuk tidak jajan, dan mencari tebengan pulang agar ongkosmu utuh tak berkurang. Kau melakukannya hanya demi aku, sepasang sepatu kets abu-abu yang telah lama dipajang di toko depan kampusmu. Kalau tidak salah hargaku dua ratus ribu, harga yang cukup mahal bagimu, seorang anak dari ayahmu yang bekerja sebagai buruh, dan ibumu yang sehari-hari berjualan es gula tebu.
Sejak kali pertama kamu melihatku, aku tahu bahwa hati kita telah saling terpaut untuk mengenal lebih jauh. Ada hasrat yang mencuat dalam masing-masing kita untuk bersama. Dan aku menunggu, sampai saat tabunganmu cukup dan kau berhasil memboyongku pulang dengan wajah haru dan degup jantung tak menentu.
Sejak saat itu aku bangga menjadi sepasang sepatu kets abu-abu nomor empat puluh.
Kau mencobaku, mematut-matutkan diri dalam cermin, berpose seolah model yang tengah berjalan di atas catwalk.
Kau mengajakku ikut serta ke manapun kamu pergi, melangkah ke dalam kelas tempat kamu belajar dan berkelit dengan buku, melipir ke angkringan depan kampus saban petang, dan menjejak ke tempat-tempat baru acapkali kau meliput berita sebagai wartawan koran paruh waktu.
Apapun itu, kita sudah seperti pengantin baru.
Sampai pada suatu waktu, di rak sepatu tempatku merajut mimpi dan membuntal harapan, ada pendatang baru yang merebut perhatianmu dariku.
Entah dari mana datangnya, tiba-tiba dia, sepasang pantofel hitam setinggi dua senti sudah tergeletak tak jauh dariku. Jarak kami hanya satu jengkal, hanya dipisahkan dengan sepasang sandal jepit kuning yang biasa kamu pakai untuk ke warung dekat rumah. Sebelum kedatangannya, tempatnya merupakan milik flatshoes cokelat yang biasa kamu gunakan saat pergi kondangan, dan belakangan baru kuketahui dari sandal jepit kuning, bahwa flatshoes cokelat telah kamu hempaskan ke tong sampah karena sudah rusak parah.
Aku belum mengucapkan selamat tinggal padanya, dan terlebih ketika aku tahu penggantinya adalah pantofel hitam, kegundahanku semakin menjadi-jadi.
Aku sangat tak menyukainya, wajahnya angkuh, senyumnya kecut. Aku heran bisa-bisanya kamu memilih membeli sepatu semenyebalkan itu.
“apa lihat-lihat?!” tuh kan, dia sangat sinis, andai kamu dapat melihat sepasang matanya yang berkilat-kilat memancarkan keangkuhan. Tapi aku diam saja, menelan kebencian bulat-bulat.
Dari jauh, kamu bergegas ke arah rak sepatu. Hari ini lain, kamu mengenakan pakaian formal yang terkesan rapi, berbalut kemeja berlengan panjang dan celana bahan hitam. Biasanya kamu tidak pernah seperti ini, setahuku, kamu adalah perempuan tercuek yang pernah kulihat; kaus oblong, kemeja butut, dan rambut kucel yang jarang disisir.
Wajahku pias, aku kecewa ketika mendapati kamu mendekat ke rak sepatu bukan untuk mengambilku seperti biasa. Kamu mengambil pantofel hitam menyebalkan itu, lalu duduk di lantai dan mulai menyemirnya dengan sikat secara perlahan.
“hei sepatu jelek, mana pernah kamu disemir seperti ini?” ejeknya, begitu menyebalkan mendengar suaranya.
“jangan sombong, aku adalah sepatu kesayangan! Aku selalu dipakai ke mana-mana.” Tandasku.
“haha…mana mungkin kau sepatu kesayangan? Lihat dirimu, jarang dicuci, kotor, bau, lebih cocok jadi sarang kecoa”
Aku melihat diriku, mungkin ia benar, menurut hitunganku hanya dua kali aku dicuci sejak kamu membeliku. Selebihnya, aku dibiarkan kotor menginjak lumpur, basah oleh air hujan, dan mengering di bawah terik mentari.
“dengar ya, aku selalu mengikuti kemanapun pemilikku pergi. Ia sangat menyayangiku!” belaku. Aku tak peduli apakah benar demikian, bagiku, kamu adalah satu-satunya orang yang kupercaya selain diriku.
“apa benar begitu? Bukankah saat wisuda ia malah memilih wedges bukan kamu, dan hari ini ia memilihku untuk panggilan interview. Bagaimana mungkin ia akan menggunakanmu untuk moment-moment istimewa?” katanya lagi, aku dirundung pilu.
Selama ini aku selalu mengikutimu pergi, patuh pada kaki kanan dan kirimu kemana pun menuju, kadang kau berjalan pelan, berlari, tersaruk-saruk, terjatuh. Aku sudah terbiasa mengikutimu berkejaran dengan waktu, terlambat sampai kelas, berburu berita di lapangan. Aku mengagumi kepiawaianmu dalam mewawancara orang, mengagumi kecerdasanmu berdiskusi di kelas, dan mengagumi kecantikan alamimu yang kadang-kadang tak kau sadari itu.
“kau tahu kenapa? Karena kau tak pantas untuk dipakai di hari-hari istimewa.” Tambahnya lagi, sudah, cukup, aku muak mendengarnya berkelakar.
Pantofel hitam mungkin benar ada benarnya, sekalipun aku yang menemanimu menyelesaikan kuliah, tapi tetap saja bukan aku yang mendampingimu saat rektor kampusmu memindahkan tali toga pertanda kamu legal jadi sarjana.
Kamu tahu, ada banyak sekali pertanyaan yang berkecamuk di benakku saat ini. Mengapa di dunia ini selalu ada hal-hal yang dirasa tidak pantas? Mengapa manusia tidak bisa hidup dengan satu jenis sepatu saja? siapa yang mengkotak-kotakkan sebangsaku untuk dipakai kapan dan dalam acara apa? Apa kamu tahu, kami sama-sama sepatu. Kami sama-sama membungkus kakimu, mengantisipasi jangan sampai terluka, melindungi dari panas, hujan, benda-benda tajam, dan tanah terjal.
Siapa pula yang menentukan ukuran kepantasan seperti pantofel lebih sopan untuk melamar pekerjaan, atau heels lebih cocok digunakan untuk pesta? Sungguh aku tak suka pengkotak-kotakan, yang pada akhirnya akan menimbulkan diskriminasi dan perbedaan perlakuan.
“Nah, sudah kinclong sekarang. Aku akan memakaimu untuk interview hari ini”
Kamu mengajak berbicara si pantofel hitam itu, warnanya mengkilap sekarang, hitamnya terlihat legam. Lalu kamu menentengnya ke luar kamar, aku bisa menebak apa yang terjadi setelahnya, kamu akan pergi bersama pantofel hitam itu, meninggalkanku dalam kemurungan.
Berhari-hari kamu tidak juga menyentuhku, bahkan enggan menyapaku. Hari-harimu disibukkan dengan pekerjaan barumu sebagai presenter di salah satu televisi swasta. Kamu tidak lagi berburu berita di jalanan, tidak lagi berlarian, tidak lagi mengajakku berkelana. Kamu tahu, hari-hari menyedihkan bagiku adalah berdiam diri di rak sepatu paling tepi. Menatap kosong pada dinding yang kadang-kadang dilewati cicak atau semut hitam. Belakangan ini aku selalu sendiri, sebab sandal jepit kuning sudah putus talinya dan sudah kamu hempaskan ke tempat sampah. Yang aku takutkan, kelak suatu hari aku akan bernasib sama dengan sandal jepit kuning atau flatshoes cokelatmu.
Tapi aku yakin kamu tidak sampai hati untuk membuangku begitu saja, karena satu bulan setelah kamu bekerja, kamu pulang dengan wajah sumringah dengan menenteng banyak kantung belanjaan. Untuk Ibumu, Ayahmu, dan tentu saja untuk dirimu sendiri. Lalu pada hari itu, kamu menyempatkan diri untuk mengunjungi rak sepatu yang kini berdebu. Kamu menemuiku.
“hai kets abu-abu, mulai sekarang akan ada pendatang baru” kamu mengeluarkan sepasang pantofel cokelat dan sepasang wedges ungu dari dalam kantung belanjaan, lalu meletakannya di sisiku.
Kamu menatapku, diriku yang kini kucel, bau, dengan sol sepatu yang sudah separuh terlepas. Mungkin satu-satunya hal yang bisa dibanggakan dariku hanyalah karena aku banyak mendulang kenangan.
Selanjutnya kamu mengamitku, membawaku pergi. Tunggu, kita mau ke mana? Apakah kamu mau mengajakku jalan-jalan ke taman kota? Atau mungkin sekedar menghabiskan senja? Entahlah, tapi yang jelas aku bisa melihat sandal jepit kuning dan flatshoes cokelat yang saling diam tepaku, memandangku dengan tatapan ragu-ragu.
***